Bom Gereja Katedral Makassar, Sel Teroris JAD Eksis di Sulawesi? - IniKabarKu.com

Breaking


PERKEMBANGAN VIRUS CORONA

Berita Selengkapnya

Bersama Lawan Covid-19

Bom Gereja Katedral Makassar, Sel Teroris JAD Eksis di Sulawesi?

Pasca-Bom-Gereja-Katedral-Makassar

Rumah di Lorong 132 A, Jalan Tinumu, Kelurahan Bunga Ejaya, Bontoala, Makassar mendadak didatangi sejumlah personel polisi, Senin (29/3/2021). Tempat ini merupakan kontrakan milik L, pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Hati Yesus Maha Kudus Makassar.


Selain itu, kediaman milik WH, ibu kandung pelaku juga menjadi sasaran penggeledehan. Polisi menggeratak isi dua rumah yang berdekatan ini untuk mencari bukti baru dan pelaku lain yang masih terafiliasi dengan pelaku bom bunuh diri di Gereja Katedral Makassar.


Pengembangan terus dilakukan polisi dengan menggelar operasi besar-besaran. Hasilnya, sejumlah orang di Bekasi, Condet, dan NTB diringkus. Mereka diduga terlibat dalam aksi teror pada Minggu pagi, 28 Maret 2021.


Pada Minggu Palma, ledakan keras menghantam Gereja Katedral Hati Yesus Maha Kudus di Jalan Kajaolalido No 14, Makassar. Ledakan tersebut berasal dari bom yang diledakkan pengendara sepeda motor di pintu gerbang gereja. Dua pelaku tewas di tempat secara mengenaskan.


Menurut Pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analyst, Harits Abu Ulya, pelaku merupakan sisa-sisa dari kelompok simpatisan Jamaah Anshorud Daulah (JAD) yang ada di Makassar. Sang pelaku disebutnya baru tergabung dalam kelompok teror ini.


"Cuma yang kemarin melakukan aksi itu adalah rekrutmen baru, jadi kalau dikatakan dari akar yang kuat, tidak juga. Karena tidak banyak yang terlibat," kata dia kepada Liputan6.com, Senin (29/3/2021).


Ia memandang aksi yang dilancarkan pasangan suami-istri ini sebagai bentuk balas dendam lantaran rekan mereka ditangkap dan dieksekusi. Sementara pelaku bom bunuh diri itu sendiri, merupakan hasil dari ajakan orang yang dieksekusi oleh tim Densus.


Sebelumnya, tim densus menangkap 20 anggota kelompok teror ini yang kemudian diangkut ke Jakarta. Bahkan di antara mereka ada yang tewas di tangan petugas, di antaranya bernama Rizaldi atau dipanggil Adi.


"Kalau ingat di Januari kemarin, ada 2 orang tewas dan 20 yang ditangkap, salah satunya Adi itu. Adi punya keluarga yang juga terduga pelaku pengeboman di gereja di Jolo Filipina, Adi juga orang yang ke Suriah dan dideportasi dan kembali ke Makassar" terang Harits.


"Di Makassar si Adi ini melakukan rekrutmen, di antaranya dua pelaku (bom bunuh diri di Gereja Katedral) ini. Dan yang saya dengar si pelaku suami-istri yang membantu pernikahannya si rekruter ini, kan inisialnya L ya? Kemungkinan besar namanya Lukman," imbuh dia.


Harits melihat tak ada pergeseran dalam pola penyerangan kelompok JAD ini. Model itu akan terus sama bahkan sasarannya pun tak akan berubah.


"Tindakan amaliah yang dilakukan dalam 10 tahun terakhir ya sasarannya sama. Gereja dan polisi, makanya kalau apakah aksi mereka dapat menebar ketakutan masyarakat luas, saya kira tidak. Masyarakat lebih takut sama corona," jelasnya.


Menurut Harits, kelompok JAD di Makassar beda kiblat dengan kelompok yang dikomandani mantan JAD Aman Abdurrahman. Karenanya, dalam melakukan amaliah, kelompok ini tetap melibatkan keluarga saat bom bunuh diri. Padahal paham tersebut, ditentang oleh Aman Abdurrahman.


"Mereka ini kelompok Makassar yang berbeda dengan Aman (Abdurrahman). Saya katakan agak eksklusif tidak terkait kelompok Aman. Kiblatnya bukan Aman kalau kelompok Makassar ini," katanya.


Harits mengaku heran penyerangan-penyerangan terhadap rumah agama kerap terjadi. Padahal, pemerintah telah mengucurkan dana lumayan besar dalam program penanganan terorisme di Indonesia.


"Dana sudah banyak (dikeluarkan), agenda-agenda konferensi ideologi sudah luar biasa sampai muntah-muntah begitu ya, tapi masih ada juga begitu aksi-aksi seperti ini. Ini menjadi catatan untuk melakukan evaluasi di seluruh proses, apakah counter ideology oleh BNPT atau law enforcement oleh Densus perlu evaluasi," ujar dia.


Selain itu, pendekatan Densus 88 terhadap para terduga teroris juga dinilainya perlu dievaluasi. Hal ini agar tidak menimbulkan dendam berkepanjangan.


"Kalau saya katakan mengapa dendam? Pertanyaanya harus mendorong kita semua terutama pihak yang berwenang untuk berkaca, apakah ada tindakan over yang melahirkan dendam yang luar biasa," ucap Harits.


Hal senada disampaikan Pakar Kriminologi dan Kepolisian, Adrianus Meliala. Ia menilai program deradikalisasi pemerintah telah jalan di tempat.


"Pola bom di Makassar agak sama yang di Surabaya yang terjadi 3 tahun lalu, kini terulang lagi. Kalau model bom bunuh dirinya, itu mengulang dari kasus bom Marriot yang terjadi 15 tahun lalu. Kemudian dari sub gerejanya yang diserang, itu lebih tua lagi, sering kali terjadi. Kesannya terkait konteks antiterorisme, jalan di tempat," jelas dia, Senin (29/3/2021).


Dia pun mempertanyakan penggunaan dana besar yang dikucurkan negara dalam penanggulangan terorisme. Lembaga seperti BNPT dan lapas khusus lapas terorisme pun dianggapnya tidak memberikan pengaruh berarti bagi mereka yang terpapar paham radikalisme tersebut.


"Kemana saja itu duit yang begitu banyak diberikan oleh negara dan luar negeri yang juga ikut bantu untuk deradikalisasi. Untuk apa ada BNPT, lapas khusus terorisme, untuk apa ada macam-macam program deradikalisasi kalau ternyata polanya sama. Yang begini-begini sudah terjadi 10 tahun lalu. Kok malah terjadi lagi. Jadi selama ini, kerjanya apa," ucap dia.


Adrianus mengungkapkan, lembaga-lembaga yang berkaitan dengan penanganan terorisme telah menjamur di Indonesia. Mulai dari BNPT, Polri dengan densus antiterornya, dan bahkan ada wacana pelibatan TNI dalam penanganan terorisme.


"Jadi menjanjikan kepada kita bahwa terorisme akan segera diberantas, atau kalau pun ada yang begini-begini, maka skalanya lebih hebat, canggih, sehingga wajar pemerintah belum bisa menanganinya. Kewalahan. Tapi ternyata yang terjadi begini-begini lagi," ujar dia.


Karenanya, peran mereka dalam menangani terorisme dipertanyakan. Sejauh mana para instansi itu mengantisipasi dan memantau kegiatan para calon-calon terduga terorisme tersebut.


"Buktinya begitu kejadian, sudah bisa diidentifikasi tuh. Selama ini ngapain saja. Padahal Undang-Undang terorisme sudah direvisi. Ini yang selama ini harus dipertanyakan kepada pemerintah," kata dia.


Selanjutnya seperti yang terjadi di Poso. Adrianus mengungkapkan anak buah kelompok Ali Kalora berjumlah sekitar 30 orang. Namun anehnya, sudah puluhan tahun belum juga berhasil ditumpas sampai tuntas oleh aparat.


"Sudah 20 tahun enggak beres-beres, padahal udah ditambah satgas Tinombala, Kopassus turun lah, semua turun," kata dia.


Kalau alasan medan yang belum dikuasai, Adrianus menilai itu juga tidak bisa dijadikan dalih pembenaran. Harusnya dengan masa operasi puluhan tahun, persoalan kesulitan medan dapat diselesaikan secara bertahap.


"Masa 20 tahun tidak beres? Oke hari ini tidak dikuasai (medannya), hari ini dipatok, dibuat pos, besok maju lagi, terus begitu kan beres. Tapi cara bekerja selalu dari awal, parsial, dari nol lagi, ujung-ujungnya tidak beres-beres," kata dia.


Adrianus menegaskan, sebenarnya target potensial BNPT yang terkait dengan terorisme jumlahnya hanya berkisar dua sampai tiga ribuan. Jumlah itu terdiri dari mereka yang aktif dalam terorisme dan alumninya yang berada di penjara.


"Pertanyaan, kapan sih diselesaikan angka 2-3 ribu ini," ucap Adrianus.

Sumber: (liputan6.com - Tommy Kurnia)