Hasil survei Focus Survey Indonesia (FSI) menempatkan Ketua Dewan Pembina Gerakan Indonesia Raya Prabowo Subianto sebagai calon presiden dengan elektabilitas tertinggi. Prabowo dengan elektabilitas 27,4 persen jauh mengungguli Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang elektabilitasnya 11,5 persen.
"Ini tergambar dari keinginan masyarakat yang menginginkan pemimpin yang tidak peragu, tegas, pemberani, dan tidak mengeluh," kata Direktur FSI Nelly Rosa Juliana di Cikini, Jakarta, Jumat malam, 2 Agustus 2013.
Dalam survei FSI, hanya Prabowo yang elektabilitasnya melewati angka 25 persen. Tokoh-tokoh lain seperti Megawati, Jokowi, Wiranto, dan Hatta Rajasa seluruhnya di bawah 15 persen. Megawati yang berada di urutan kedua setelah Prabowo mendapatkan angka 12,7 persen. Sedangkan Wiranto 8,4 persen.
Tingkat pengenalan terhadap Prabowo juga disebut tinggi. Dia mendapatkan angka 96,2 persen dibandingkan Megawati yang mendapatkan angka 99 persen. Bagi FSI, tingkat pengenalan Prabowo termasuk di luar dugaan karena mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat itu jarang nongol di televisi.
"Maklum, karena televisi media massa besar dikuasai oleh pengurus partai yang menjadi saingan Prabowo," kata Nelly.
Melihat hasil survei yang berbeda dibandingkan survei-survei lain, wartawan yang hadir dalam konferensi pers FSI mencecar dengan sejumlah pertanyaan. Yang jadi sasaran pertanyaan adalah metodologi survei FSI.
FSI menyatakan mereka melakukan wawancara tatap muka terhadap 10 ribu responden yang tersebar di 5.000 desa dari 21 provinsi. Wawancara tatap muka itu dilakukan dalam 10 hari, sepanjang 10-28 Juli 2013.
Dalam sesi tanya-jawab, muncul pertanyaan apakah FSI punya cukup tenaga untuk menemui 555 responden per hari. Koordinator survei, Widodo Edi, pun berkelit, "Kami punya jejaring hingga ke daerah. Kami e-mail-e-mail-an dengan mereka, mereka yang menemui langsung."
Seorang pengamat politik yang dihadirkan dalam acara tersebut, Irwan Suhanto dari Etos Institute, mengatakan tak pantas wartawan menanyakan metodologi lembaga survei. Menurut dia, metode survei merupakan dapur lembaga survei yang tak perlu dibuka ke publik. "Tak pantas ditelanjangi seperti itu," katanya.
Wartawan juga meminta Nelly menunjukkan foto bukti bahwa FSI melakukan wawancara responden di lapangan. Permintaan tersebut bahkan muncul dua kali dalam sesi tanya-jawab. Namun, hingga akhir acara, permintaan tersebut tak dipenuhi. "Apalagi sampai minta-minta foto seperti itu, tidak perlu sampai seperti itulah," kata Irwan.
Sumber: tempo.co