Jika ada penobatan manusia yang bisa menghilang tanpa terdeteksi, mungkin Eddy Tansil lah yang patut mendapatkan penghargaan itu. Sejak menjadi buron tahun 1996, hingga kini keberadaannya tidak pernah tercium oleh hidung penegak hukum negara manapun. Secuil informasi pun tidak pernah diterima penegak hukum Indonesia.
Buron kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Sherny Kojongian telah berhasil ditangkap berkat laporan interpol Rabu (13/6) lalu. Sherny adalah salah satu dari belasan buron BLBI yang berhasil ditangkap setelah kabur 10 tahun yang lalu.
Lalu, bagaimana dengan Eddy Tansil? Buron yang berhasil membawa kabur kredit senilai Rp 1,3 triliun yang dikucurkan Bank Bapindo kepada kelompok usahanya, Golden Key Group, ini berhasil kabur dari LP Cipinang bulan Mei 1996 silam. Waktu itu, Pengadilan Jakarta Pusat menghukum Eddy 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar dan membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun. Dengan adanya kejadian itu, sekitar 20 orang petugas penjara Cipinang diperiksa karena diduga membantu kelolosan Eddy. Setelah itu, Eddy hilang tanpa jejak.
Sementara, negarapun amat susah untuk menyita aset Eddy di Indonesia sebagai 'pembayaran' atas kerugian negara akibat uang yang digondolnya. Menurut pemberitaan media pada saat itu, harta kekayaan Eddy sangat susah ditaksir. Pasalnya, tidak semua hartanya diaku dengan nama dia di atas surat legal. Contohnya aset tanah seluas 8.000 meter persegi di Pademangan, kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Tanah ini termasuk aset yang harus disita. Tapi upaya ini menemui ganjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Adik Eddy Tansil yang bernama Hartono Hadisurjo melalui verset membantah bahwa tanah itu milik Eddy tapi miliknya atas nama PT Graha Mega Pratama. Dan adik Eddy itu menang.
Meski begitu, dari perkara Eddy Tansil ini pihak Kejaksaan Agung bukan berarti tak berhasil menyita apa pun. Selama tahun 1996, Kejaksaan Agung telah berhasil menyita sejumlah aset Eddy Tansil dan diserahkan kepada Bapindo. Pada tanggal 12 Maret 1996, misalnya, Kejaksaan Agung menyerahkan uang kontan sejumlah sekitar Rp 46,3 miliar dan USD 2.882. Tak dijelaskan oleh Kejaksaan Agung, uang milik Eddy ini disita dari mana. Tiga hari berikutnya, 15 Maret 1996, menyusul diserahkan aset berupa tiga pabrik. Yakni, pabrik PT Graha Swakarsa Prima yang menguasai aset berupa lahan 164.927 meter persegi di kecamatan Bojonegara, Serang, Jawa Barat; pabrik PT Pusaka Warna Polyprophylene yang memiliki aset lahan seluas 99 ribu meter persegi, juga di kecamatan Bojonegara, Serang; dan pabrik PT Materindo Supra Metal Works yang luas tanahnya 51.255 meter persegi di Gunung Putri, Cibinong.
Setelah itu, keberadaan Eddy Tansil pun simpang siur. Mulai dari kabar bahwa dia menjalani bisnis bir di China pun terhembus di Indonesia. Kabarnya, dia telah menjalankan pabrik bir di bawah lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company di kota Pu Tian, Fujian, China di tahun 1999. Pada saat internet merupakan barang yang luar biasa, penyelidikan mengenai keberadaan bir tersebut di China menjadi heboh. Salah satu aktivis peduli harta negara berhasil membuktikan bahwa perusahaan itu memang ada. Namun perkara pabrik itu milik pria kelahiran 2 Februari 1959 itu apa bukan, belum bisa dikonfirmasi.
Tahun 2007, nama Eddy Tansil sempat tersentil. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dikabarkan mendeteksi adanya transaksi keuangan dari Eddy Tansil. Namun, pernyataan ini dibantah oleh Ketua PPATK saat itu, Yunus Husein. Meski begitu, Tim Pemburu Koruptor yang dibentuk tahun 2004, berencana untuk memburu kembali Eddy Tansil. Namun, hingga detik ini, tidak ada kabar dari pria yang juga bernama Tan Tjoe Hong itu.
Mungkin jika Eddy mau bermanis-manis di hotel prodeo Cipinang, lebih dari enam tahun lalu dia sudah bisa menghirup udara bebas. Namun dia memilih untuk kabur. Namun yang patut dipertanyakan bukan itu, di tengah teknologi yang semakin canggih dan terbukanya informasi di seluruh dunia, apa yang membuat penegak hukum Tanah Air tidak jua mengendus keberadaan koruptor legendaris itu?
Sementara, negarapun amat susah untuk menyita aset Eddy di Indonesia sebagai 'pembayaran' atas kerugian negara akibat uang yang digondolnya. Menurut pemberitaan media pada saat itu, harta kekayaan Eddy sangat susah ditaksir. Pasalnya, tidak semua hartanya diaku dengan nama dia di atas surat legal. Contohnya aset tanah seluas 8.000 meter persegi di Pademangan, kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara. Tanah ini termasuk aset yang harus disita. Tapi upaya ini menemui ganjalan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Adik Eddy Tansil yang bernama Hartono Hadisurjo melalui verset membantah bahwa tanah itu milik Eddy tapi miliknya atas nama PT Graha Mega Pratama. Dan adik Eddy itu menang.
Meski begitu, dari perkara Eddy Tansil ini pihak Kejaksaan Agung bukan berarti tak berhasil menyita apa pun. Selama tahun 1996, Kejaksaan Agung telah berhasil menyita sejumlah aset Eddy Tansil dan diserahkan kepada Bapindo. Pada tanggal 12 Maret 1996, misalnya, Kejaksaan Agung menyerahkan uang kontan sejumlah sekitar Rp 46,3 miliar dan USD 2.882. Tak dijelaskan oleh Kejaksaan Agung, uang milik Eddy ini disita dari mana. Tiga hari berikutnya, 15 Maret 1996, menyusul diserahkan aset berupa tiga pabrik. Yakni, pabrik PT Graha Swakarsa Prima yang menguasai aset berupa lahan 164.927 meter persegi di kecamatan Bojonegara, Serang, Jawa Barat; pabrik PT Pusaka Warna Polyprophylene yang memiliki aset lahan seluas 99 ribu meter persegi, juga di kecamatan Bojonegara, Serang; dan pabrik PT Materindo Supra Metal Works yang luas tanahnya 51.255 meter persegi di Gunung Putri, Cibinong.
Setelah itu, keberadaan Eddy Tansil pun simpang siur. Mulai dari kabar bahwa dia menjalani bisnis bir di China pun terhembus di Indonesia. Kabarnya, dia telah menjalankan pabrik bir di bawah lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company di kota Pu Tian, Fujian, China di tahun 1999. Pada saat internet merupakan barang yang luar biasa, penyelidikan mengenai keberadaan bir tersebut di China menjadi heboh. Salah satu aktivis peduli harta negara berhasil membuktikan bahwa perusahaan itu memang ada. Namun perkara pabrik itu milik pria kelahiran 2 Februari 1959 itu apa bukan, belum bisa dikonfirmasi.
Tahun 2007, nama Eddy Tansil sempat tersentil. Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dikabarkan mendeteksi adanya transaksi keuangan dari Eddy Tansil. Namun, pernyataan ini dibantah oleh Ketua PPATK saat itu, Yunus Husein. Meski begitu, Tim Pemburu Koruptor yang dibentuk tahun 2004, berencana untuk memburu kembali Eddy Tansil. Namun, hingga detik ini, tidak ada kabar dari pria yang juga bernama Tan Tjoe Hong itu.
Mungkin jika Eddy mau bermanis-manis di hotel prodeo Cipinang, lebih dari enam tahun lalu dia sudah bisa menghirup udara bebas. Namun dia memilih untuk kabur. Namun yang patut dipertanyakan bukan itu, di tengah teknologi yang semakin canggih dan terbukanya informasi di seluruh dunia, apa yang membuat penegak hukum Tanah Air tidak jua mengendus keberadaan koruptor legendaris itu?
Sumber: merdeka.com