Transjakarta Dikritik Profesor dari Amerika - IniKabarKu.com

Breaking


PERKEMBANGAN VIRUS CORONA

Berita Selengkapnya

Bersama Lawan Covid-19

Transjakarta Dikritik Profesor dari Amerika

Profesor Robert Cervero dari University of California, Berkeley, Amerika Serikat, mengkritik operasional bus Transjakarta selama ini. "Transjakarta belum efektif karena busnya masih lambat," kata Robert saat memberikan kuliah umum "Perencanaan Penataan Transportasi Perkotaan Terbaru" di Kementerian Perhubungan, Kamis, 5 Juli 2012. Robert menyarankan bus rapid transit (BRT) dikembangkan di Indonesia.
Robert menjelaskan, sistem BRT berbeda dari Transjakarta yang sudah ada selama ini. Jika bus Transjakarta melakukan pemberhentian di halte sendiri, tidak demikian halnya dengan BRT. BRT melakukan pemberhentian pada lokasi-lokasi tujuan publik, seperti pusat perbelanjaan, sekolah, maupun rumah sakit.

Namun, menurut Robert, ada masalah yang harus diantisipasi dalam mengembangkan BRT. Robert mengatakan jangan sampai desain BRT dikembangkan hanya untuk menekan biaya, namun akhirnya malah memilih lokasi yang tidak tepat.

Robet menyebut ibu kota negara bagian Brasil, Curitiba, sebagai kota yang bisa dicontoh untuk sistem transportasinya. Curitiba memiliki BRT dengan jalur paralel. Jumlah angkutan feeder pun lebih banyak dibandingkan bus dalam sistem BRT yang dioperasikan. Robert menilai sistem tersebut efektif.

Menurut Robert, yang menjadi faktor pendorong berhasilnya sistem BRT itu adalah frekuensi pemberhentian yang tinggi. Di samping itu, bus yang digunakan dalam sistem BRT tersebut relatif kecil. Jadi, kata Robert, laju bus lebih cepat dibanding bus berukuran besar.

Jawaban Transjakarta
Pengelola Transjakarta tak tinggal diam dengan kritik yang disampaikan seorang profesor Amerika tentang layanan Transjakarta.

Kepala Badan Layanan Umum Transjakarta Muhammad Akbar mengatakan kecepatan laju bus Transjakarta memang didesain sampai 50 kilometer per jam. Namun, pada saat kendaraan padat, kecepatan bus Transjakarta hanya sekitar 20 kilometer per jam.

"Karena macet dan jalur Transjakarta belum steril," katanya pada hari Jumat, 6 Juli 2012. "Kecepatan ini sudah lebih cepat dari kecepatan rata-rata kendaraan pribadi."

Pada kesempatan itu, Robert juga menyarankan supaya Indonesia mengembangkan model transportasi bus rapid transit (BRT). Ia menjelaskan, sistem BRT berbeda dari Transjakarta yang sudah ada selama ini. Jika bus Transjakarta melakukan pemberhentian di halte sendiri, tidak demikian halnya dengan BRT. BRT melakukan pemberhentian pada lokasi-lokasi tujuan publik, seperti pusat perbelanjaan, sekolah, maupun rumah sakit.

Namun, menurut Robert, ada masalah yang harus diantisipasi dalam mengembangkan BRT. "Jangan sampai desain BRT dikembangkan hanya untuk menekan biaya, namun akhirnya malah memilih lokasi yang tidak tepat," ujarnya.

Menanggapi perihal penempatan tempat pemberhentian ini, Akbar mengatakan, lokasi halte bus Transjakarta sudah mempertimbangkan tempat-tempat pusat kegiatan masyarakat. Akbar menambahkan, badan layanan umum Transjakarta juga memperhatikan ketersediaan lahan, jarak antarhalte, dan aspek jaringan jalan.

"Banyak Transjakarta yang berhenti di pusat kegiatan masyarakat, contohnya Ancol, Ragunan, Rumah Sakit Carolus, Stasiun Gambir, dan mal-mal (PGC, Pluit, Anggrek, Pasar Festival)," ujarnya.

Sumber: tempo.co