WhatsApp terus menjadi berita, bukan hanya karena fitur barunya, tapi beragam kejadian di balik layar. Berikut di antaranya.
Jadi Sarana Hoax di India
Tahun lalu, India dihebohkan dengan penyebaran informasi palsu via WhatsApp tentang maraknya penculikan anak. Dalam jangka waktu 2 bulan, puluhan orang dihakimi massa karena dituding penculik dalam pesan yang beredar di WhatsApp, sebagian sampai meninggal dunia. Padahal mereka tidak bersalah.
Seorang pria bernama Mohammad Azam pada bulan Juli 2018 misalnya, tewas dihakimi sekitar 2.000 orang di wilayah Karnakata karena rumornya dia mengincar anak-anak. Tiga polisi terluka saat berupaya menyelamatkan korban.
Pemerintah India pun mendesak WhatsApp bertindak. "Sirkulasi pesan tidak bertanggung jawab yang merajalela dalam jumlah yang besar pada WhastApp belum ditangani secara memadai oleh mereka," demikian pernyataan Kementerian Teknologi Informasi India kala itu.
Hasilnya ada dua fitur yang pertama kali diimplementasikan di sana. Pertama adalah ada penanda 'forwarded' jika sebuah pesan diteruskan ke kontak yang lain. Kedua adalah pembatasan forward pesan hanya ke 5 kontak.
WhatsApp terus menjadi berita, bukan hanya karena fitur barunya, tapi beragam kejadian di balik layar. Berikut di antaranya.
Ditinggal Duet Pendirinya
Saat Facebook membeli WhatsApp pada 2014 senilai sekitar USD 19 miliar, mereka turut 'mengangkut' duet pendirinya, Brian Acton dan Jan Koum. Awalnya semua baik-baik saja sampai mendadak Brian mengundurkan diri pada akhir 2017.
Pada 2018, giliran Jan Koum mengundurkan diri dari Facebook. Keduanya dikabarkan bertikai dengan pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, soal metode iklan di WhatsApp sekaligus privasi pengguna. Bahkan Acton terang-terangan menyuarakan aksi 'delete Facebook'.
"Pada akhirnya, aku menjual perusahaanku. Aku menjual privasi user. Aku membuat pilihan dan berkompromi. Dan hal itu selalu mengusikku setiap hari," sebut Acton mengenai alasannya meninggalkan Facebook.
Diminta Membongkar Penyandian
Salah satu proposal peraturan yang sedang digodog oleh pemerintahan India adalah mengharuskan pihak WhatsApp bisa melacak pesan. Hal itu berlawanan dengan fitur penyandian end to end yang default di WhatsApp.
"Dari proposal regulasi itu,satu hal yang paling kami khawatirkan adalah penekanan terhadap penelusuran pesan," kata Carl Wogg, Head of Communications WhatsApp.
Dengan enskripsi end to end, maka pesan yang beredar pada WhatsApp hanya dapat terbaca di perangkat pengirim dan penerima pesan. WhatsApp pun tidak dapat mengaksesnya.
"Proposal itu tak konsisten dengan perlindungan privasi yang dicari orang di seluruh dunia. Karena kami punya enkripsi end to end, maka regulasi itu akan membuat kami mengubah produk,"terang Carl.
Artinya, jika proposal tersebut benar-benar disahkan menjadi aturan, layanan WhatsApp terancam tidak akan seperti sekarang. Bahkan ada spekulasi WhatsApp mungkin saja meninggalkan India jika aturan semacam itu diterapkan.
Tumbang dan Bikin User Kelabakan
Diandalkan oleh miliaran orang, tentu banyak yang mengeluh jika WhatsApp down. Dan entah apa penyebabnya, layanan ini beberapa kali tumbang, termasuk baru-baru ini.
Pada awal Januari 2019, WhatsApp tumbang di berbagai negara. Para pengguna pun jadi panik karena WhatsApp down dalam waktu yang cukup lama. Baik pemakai perangkat Android maupun iOS terkena dampaknya.
Akun pendeteksi situs maupun platform, Down Detector, melaporkan tumbangnya WhatsApp muncul dari pengguna di Eropa, Turki, Denmark, Venezuela, Brasil, Argentina, Peru, Guatemala, negara Amerika Selatan lainnya, Meksiko, Amerika Serikat, Kanada, sebagian kecil negara di Afrika, sampai Filipina.
Kemudian pada Kamis 14 Maret kemarin, pengguna WhatsApp di berbagai wilayah kesulitan mengirim foto, hanya pesan teks. Errornya WhatsApp berbarengan dengan 'saudaranya', Facebook serta Instagram.
Kontroversi 'Merger' dengan Instagram dan Facebook Messenger
Rencana integrasi layanan WhatsApp, Instagram, dan Facebook Messenger yang diungkap CEO Facebook Mark Zuckerberg membuat heboh. Facebook masih dalam tahap awal rencana tersebut dan menargetkan untuk menyelesaikannya akhir tahun ini, atau di awal 2020.
Bagi yang membayangkan integrasi ini akan membuat tiga layanan menjadi satu aplikasi, hal itu tidak akan terjadi. Bagaimana pun, WhatsApp, Instagram dan Facebook Messenger akan tetap menjadi aplikasi terpisah.
Jadi, gambarannya seperti ini: setelah integrasi, misalnya pengguna WhatsApp bisa bertukar pesan dengan pemakai Instagram dan sebaliknya. Atau pengguna Facebook bisa mengirim pesan ke orang yang hanya punya WhatsApp (tidak punya Instagram dan Facebook).
Sementara itu, Zuckerberg bersikeras membela diri terkait tudingan mencuri data dari langkah ini. Dia berargumen, menyasar target iklan berdasarkan minat sangat berbeda dengan menjual data.
"Ketika saya memikirkan masa depan internet, saya percaya platform komunikasi yang berfokus pada privasi akan menjadi lebih penting daripada platform terbuka saat ini. Saya berharap versi Messenger dan WhatsApp di masa depan menjadi cara utama orang berkomunikasi di jaringan Facebook," kata Zuck.
Langkah ini kabarnya mendapat tentangan dari sebagian kalangan internal Facebook. Chief Product Officer Chris Cox dan Vice President WhatsApp Chris Daniels kabarnya mundur karena tak setuju dengan rencana Zuck.
Cox menulis tentang kepergiannya di akun Facebook-nya, tapi ia tidak menyebutkan alasannya meninggalkan Facebook. Ia mengatakan Facebook sedang membuka halaman baru dengan lebih fokus kepada messaging dan enkripsi.
(Fino Yurio Kristo - detikInet)