Malik Amir Mohammad Khan Afridi bukanlah antek Amerika atau pemerintah Pakistan. Afridi hanyalah seorang warga Pakistan biasa yang berprofesi sebagai pengusaha. Namun pria ini harus mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari sekutu Taliban. Ia diculik bahkan nyaris dibunuh hanya karena kumisnya.
Selama berabad-abad, kumis lebat telah menjadi tanda kejantanan dan otoritas di sub-benua India. Akan tetapi di Pakistan, militan Islam mencoba untuk menegakkan doktrin agama bahwa kumis pria harus dipangkas atau dicukur. Afridi sendiri merupakan pria yang sangat senang memanjangkan kumisnya hingga 76 cm.
Afriadi memiliki biaya sendiri untuk perawatan kumisnya agar senantiasa
terlihat rapi. Pria ini menghabiskan dana sebesar $ 150 atau sekitar Rp
1,5 juta per bulan, melebihi penghasilan guru di Pakistan. Selain itu,
ia memiliki pengering rambut, sabun khusus, sampo, minyak Jerman dari
Dubai, handuk dan sikat rambut.
Kumis itu dirawat layaknya rambut panjang, disisir, diminyaki, dan dipilin hingga membentuk lengkungan yang memanjang ke atas hingga mencapai dahinya, menantang gravitasi.
Hampir Dibunuh karena Kumis
Akibatnya, Afridi pernah menjadi tawanan kelompok garis keras Lashkar-e-Islam, yang menjadi sekutu Taliban di distrik suku Khyber, perbatasan Afghanistan.
Kelompok itu menuntut uang perlindungan sebesar $500 atau sekitar Rp 5 juta per bulan. Ketika dia menolak, empat pria bersenjata muncul di rumahnya pada tahun 2009. Amir ditawan selama satu bulan di sebuah gua dan akan dilepas dengan syarat mencukur kumisnya.
Kelompok itu menuntut uang perlindungan sebesar $500 atau sekitar Rp 5 juta per bulan. Ketika dia menolak, empat pria bersenjata muncul di rumahnya pada tahun 2009. Amir ditawan selama satu bulan di sebuah gua dan akan dilepas dengan syarat mencukur kumisnya.
"Saya takut mereka akan membunuh saya, lalu saya memutuskan untuk mengorbankan kumis," katanya.
Setelah itu, Afridi melarikan diri ke tempat yang cukup aman di Peshawar. Namun kejadian tahun 2009 itu tidak membuatnya kapok. Ia malah menumbuhkan kembali kumisnya itu. Pria berusia 48 tahun ini lebih memilih untuk jauh dari keluarganya dibandingkan harus mencukur kumisnya.
Akibatnya pada 2012 teror muncul lagi, telepon dari orang-orang yang mengancam akan menggorok lehernya. Afridi pun terpaksa kabur lagi ke kota Punjabi di Faisalabad dan ke Peshawar hanya sekali atau dua kali dalam sebulan untuk mengunjungi keluarganya.
"Saya masih takut," katanya. "Saya di Peshawar untuk menghabiskan Ramadhan dengan keluarga saya tetapi berdiam di rumah saja," katanya. Meskipun keluarganya kerap meminta mencukur kumis agar bisa kembali berkumpul lagi, Amir tetap menolaknya.
"Saya masih takut," katanya. "Saya di Peshawar untuk menghabiskan Ramadhan dengan keluarga saya tetapi berdiam di rumah saja," katanya. Meskipun keluarganya kerap meminta mencukur kumis agar bisa kembali berkumpul lagi, Amir tetap menolaknya.
"Saya bisa meninggalkan keluarga, meninggalkan Pakistan, tapi saya tidak akan pernah bisa memotong kumis ini," ungkapnya, seperti dilansir situs Interaksyon, Kamis, 8 Agustus 2013.
Alasan Afriadi rela mempertaruhkan segalanya demi kumisnya sangat sederhana. "Ini identitas saya, "kata kakek berusia 48 tahun di kota barat laut Peshawar. Ia merasa senang orang-orang yang bertemu dengannya melihat dengan hormat. "Saya merasa senang. Saya terbiasa dengan semua perhatian dan saya sangat menyukainya, "ujarnya.
Kini harapan Afridi adalah bisa mendapatkan suaka politik atau mewakilik Pakistan pada kompetisi internasional, kalau saja dia bisa mendapatkan visa.
Kini harapan Afridi adalah bisa mendapatkan suaka politik atau mewakilik Pakistan pada kompetisi internasional, kalau saja dia bisa mendapatkan visa.
Sumber: tempo.co