Festival Hantu (Hanzi: 鬼節, hanyu pinyin: gui jie) adalah sebuah tradisi perayaan dalam kebudayaan Tionghoa. Festival ini juga sering disebut sebagai Festival Tionggoan (Hanzi: 中元, hanyu pinyin: zhong yuan). Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Imlek.
Tradisi ini sebenarnya merupakan produk masyarakat agraris di zaman
dahulu yang bermula dari penghormatan kepada leluhur serta Dewa-Dewi
supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat terberkati dan
berlimpah. Namun pengaruh religius terutama dari Buddhisme menjadikan
tradisi perayaan ini sarat dengan mitologi tentang hantu-hantu kelaparan
yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia.
Tradisi membagi-bagikan hasil bumi (beras, mie, bihun, kue, buah-buahan, dsb) di kelenteng-kelenteng diwariskan turun temurun hingga sekarang untuk memberi kesempatan kepada manusia di dunia agar bisa beramal kebajikan bagi para leluhurnya. Menurut kepercayaan, pada setiap bulan ketujuh penanggalan Imlek, pintu neraka akan dibuka lebar-lebar, dan para arwah akan diberi kesempatan untuk turun ke dunia menjenguk anak cucunya. Bagi para arwah yang anak cucunya tidak menyediakan sesajian di rumah, mereka akan mencari makanan di kelenteng-kelenteng.
Nampak pada gambar "sesajian" yang dibakar berupa uang-uangan dan rumah-rumahan yang terbuat dari kertas pada salah satu acara sembahyang rebutan |
Bulan ketujuh Imlek juga biasanya disebut sebagai bulannya hantu untuk berkeliaran selama sebulan penuh (15 hari sebelum tanggal 15 bulan 7 sampai 15 hari sesudahnya) dan ada berbagai jenis dan karakter hantu yang akan keluar untuk merayakan hari kebebasannya. Biasanya bagi yang masih percaya terhadap hal ini, akan sangat jarang sekali mengadakan pesta pernikahan dsb di bulan ketujuh penanggalan Imlek, karena menurut kepercayaan tersebut diyakini bisa membawa sial karena pesta tersebut akan dihadiri juga oleh hantu-hantu yang bergentayangan itu.
Setiap pertengahan Bulan ketujuh (Tanggal 15), di Vihara/Kelenteng seringkali mengadakan upacara sembahyang "jit gwee" atau biasa disebut juga sembahyang Cio Ko atau Ulambana (versi Buddhisme). Dalam upacara ini ada keunikan yaitu sehabis upacara Sembahyang selesai maka semua makanan yang ada diatas meja sembahyang lalu diperebutkan oleh semua yang hadir, oleh karena itu upacara ini di beberapa daerah juga sering menyebutnya dengan nama "sembahyang rebutan".
Terlepas dari semua mitologi religius di atas, hikmah dari perayaan ini sebenarnya adalah penghormatan kepada leluhur dan penjamuan fakir miskin. Ini ditandai dengan tradisi sembahyang rebutan, yang membagi-bagikan makanan sembahyangan kepada para fakir miskin, para gelandangan dan pengemis setelah acara selesai.
Terlepas dari semua mitologi religius di atas, hikmah dari perayaan ini sebenarnya adalah penghormatan kepada leluhur dan penjamuan fakir miskin. Ini ditandai dengan tradisi sembahyang rebutan, yang membagi-bagikan makanan sembahyangan kepada para fakir miskin, para gelandangan dan pengemis setelah acara selesai.
Sumber: tionghoa.info