Peran petugas menara pengatur lalu lintas pesawat (air traffic control) sangat penting. Bukan hanya soal keselamatan pesawat yang ada di tangan mereka, tapi juga efisiensi penggunaan bahan bakar avtur.
Di bandara-bandara yang sibuk, seperti Heathrow, London, atau Bandara Soekarno-Hatta adalah salah satu contohnya. Di Soekarno-Hatta, misalnya, dalam satu jam, puluhan pesawat mendarat atau terbang. Semakin banyak pesawat, maka antrean untuk mendarat juga akan makin lama. Bagi maskapai, itu bisa membuat bengkak biaya produksi karena harus membeli lebih banyak avtur. Petugas ATC bisa saja berbuat nakal dengan "menjual" urutan antrean mendarat.
Ini memang berbeda dengan prinsip kerja ATC: melayani pesawat yang lebih dulu datang. Pengecualian hanya untuk kondisi darurat. Nyatanya, prinsip itu tak melulu berlaku. Salip-menyalip di udara sudah kerap terjadi. Kepada Tempo, sejumlah petinggi maskapai mengeluhkan sikap petugas ATC yang mendahulukan pesawat yang tiba belakangan.
Seorang manajer maskapai swasta lokal bercerita, tiap bulan ia harus menyetor lebih dari 30 tiket penerbangan ke petugas ATC supaya tak ditaruh di urutan buncit. Mendarat duluan berarti menghemat avtur. Toh, harga tiket itu tak seberapa besar dibandingkan dengan harga avtur. "Pernah ada sekumpulan petugas ATC presentasi. Mereka sanggup membantu maskapai kami menghemat avtur," kata manajer ini.
Mulya Abdi membantah kabar itu. "Tak mungkin mengubah urutan begitu saja," ujarnya. Tapi ia mengakui petugas ATC yang memiliki kartu anggota Indonesia Air Traffic Controllers Association bisa membeli tiket dengan harga diskon.
Presiden asosiasi itu, I Gusti Ketut Susila, membantah ada pembagian tiket gratis. "Tunjukkan kepada kami siapa penerimanya, pasti kami tindak," katanya.
Sumber: tempo.co