Liem Ping Wie, Tonggak Batik Peranakan Tionghoa - IniKabarKu.com

Breaking


PERKEMBANGAN VIRUS CORONA

Berita Selengkapnya

Bersama Lawan Covid-19

Liem Ping Wie, Tonggak Batik Peranakan Tionghoa


Kekhasan kota Pekalongan sebagai daerah penghasil batik tidak sekadar karena banyaknya industri  batik di sana. Tetapi juga karena di Pekalongan terdapat pusat  batik Peranakan Tionghoa. Pusat  batik ini dikenal menghasilkan  batik motif Hokokai dan buketan yang sangat indah.

Lokasi pusat  batik Peranakan Tionghoa itu berada di Kedungwuni, saat ini menjadi salah satu kecamatan di Kabupaten Pekalongan. Waktu tempuh ke Kedungwuni dari Kajen, ibu kota Kabupaten Pekalongan berkisar kurang lebih 30 menit, data dari situs resmi Kabupaten Pekalongan menyatakan bahwa jarak antara Kajen dan Kedungwuni tepatnya hanyalah 15 km. Relatif dekat. Sepanjang jalan dari Kajen menuju Kedungwuni, yang terlihat adalah suasana dinamis kehidupan kota kecil yang bersolek. Jajaran ruko, pasar, dan berbagai jenis tempat usaha. Tak heran karena kecamatan Kedungwuni tercatat memiliki potensi industri pakaian jadi (konveksi) pada peta bisnis Kabupaten Pekalongan.

Gaung Kejayaan Batik Peranakan
Sekalipun secara umum terlihat sebagai kota kecil yang tengah membangun, suasana khas yang berbeda segera terasa ketika kita memasuki Kedungwuni. Di jalan berseliweran sepeda. Berdasarkan catatan sejarah, sejak awal tahun 1900an, kota kecil ini merupakan lokasi penduduk keturunan Tionghoa, dan telah menjadi sentra  batik tulis Peranakan Tionghoa.

Di antara beberapa nama keluarga pengusaha  batik terkenal dari Kedungwuni, Liem Ping Wie adalah salah satunya. Lokasi sentra  batik milik keluarga Liem ini sekaligus berfungsi sebagai kediaman keluarga. Bangunan yang terletak di jalan raya Kedungwuni itu beridentitas no 192. Daun pintu yang berkaca buram, masih menyisakan keanggunan langgam arsitektur masa lalu yang tergerus jaman.
Rumah keluarga Liem Ping Wie di Kedungwuni yang menjadi salah satu pusat batik Peranakan Tionghoa
Ketika menapaki ruang depan bangunan itu, perhatian segera terarah pada lemari hias, dari kayu Jati yang terlihat kokoh. Satu-satunya furnitur berisi benda-benda kenangan keluarga, yang dibiarkan tetap di sana; seakan menjadi penanda “keberhasilan” keluarga.

Melewati ruang besar dan kosong itu, terdapat halaman tengah yang terbuka. Di area inilah Liem Poo Hien, atau akrab disapa Ibu Hien, generasi ke-4 penerus usaha  batik keluarga Liem menyapa setiap tamunya. Membuka percakapan tentang usaha keluarga yang telah dimulai sejak awal tahun 1900an, Ibu Hien menjelaskan bahwa hingga saat ini, ia masih menerapkan cara yang sama seperti yang diajarkan oleh ayahnya. 

“Saya masih berpegang pada motif-motif yang diturunkan oleh keluarga. Karena inilah kekhasan saya. Motif ini didapatkan ayah dari ayah dan kakeknya,” ungkap Ibu Hien. Itu berarti motif kain  batik Liem Ping Wie, telah berusia 100an tahun lebih. Mengesankan!

Kumpulan motif Keluarga Liem Ping Wie yang diwariskan selama 4 generasi

Motif Buketan, Pengaruh Eropa
Batik buketan, motif batik Peranakan Tionghoa yang dipengaruhi oleh kultur Eropa.
Sebagaimana berbagai literatur menjelaskan bahwa pada masanya, motif  batik Peranakan Tionghoa mendapatkan pengaruh dari kebudayaan Belanda dan Jepang, maka hal inipun dialami oleh  batik keluarga Liem. 

“Batik kan bagian dari kebudayaan, dan selalu berubah. Ada masanya  batik bermotif asli peranakan seperti burung Hong (phoenix), lotus ataupun swastika (pengaruh Budha), tidak terlalu digemari. Pada masa penjajahan Belanda, maka motif bunga Eropa, seperti Mawar dan rangkaian bunga atau buket diadaptasi oleh keluarga. Jenis motif ini dikenal sebagai  batik buketan,” ungkap Ibu Hien berbagi pengetahuan.

Motif fauna dan flora adalah salah satu ciri batik peranakan.
Beliau kemudian menuturkan bahwa pada masa yang sama, dikenal juga batik dengan motif karakter dongeng seperti Cinderella atau Hanzel & Gretel, jenis itu dikenal sebagai batik dongeng, dan ada juga batik kolonial bermotif kapal laut yang dikenal sebagai motif Kapal Sanggat. Menurut Ibu Hien, keseluruhan batik dengan motif yang dipengaruhi oleh kebudayaan Eropa ini dikenal sebagai Batik Nyonya Dansa.


Batik Dongeng adalah batik yang dipengaruhi dongen-dongen bangsa Eropa, yang juga dikenal sebagi Batik Nyonya Dansa. Ki-ka: Batik Natal, Batik Red Riding Hood, Batik Kapal Sanggat.

Batik Hokokai
Masterpiece lain dari batik Peranakan Tionghoa adalah batik bermotif Hokokai. Ibu Hien menjelaskan bahwa motif Hokokai merupakan batik yang dibuat pada masa penjajahan Jepang. Berdasarkan literatur, motif batik ini memang muncul akibat asimilasi kebudayaan yang terjadi pada masa pendudukan Jepang. Batik dengan motif inilah yang kemudian menjadi kekhasan produk Liem Ping Wie.

Ketika Ibu Hien menunjukkan proses produksi batiknya, maka terlihat sekumpulan perempuan yang duduk berkelompok dan menggerakan canting membuat motif kupu-kupu dan bunga dengan isen-isen yang sangat detail. “Sebenarnya, selain motif kupu-kupu, kekhasan batik Hokokai adalah tanahannya yang sangat rapat, dan motif batik Pagi-Sore,” lanjut Ibu Hien.

Batik Hokokai dengan motif yang dibuat berbeda, dikenal sebagai batik Pagi-Sore, agar dapat dikenakan di dua kesempatan yang berbeda.

Sesuai penjelasan Ibu Hien, tanahan adalah motif pengisi antara motif utama batik. Batik Hokokai memiliki tanahan yang sangat rapat, karena pada masa penjajahan Jepang, kaum perempuan Peranakan Tionghoa lebih banyak menghabiskan waktu di rumah, dan membatik menjadi salah satu aktivitas mereka untuk membuat bahan baju, memenuhi kebutuhan pribadi. Karena waktu yang banyak tersedia, sebaliknya mori polos untuk membatik sulit didapatkan, maka motif yang dibuat menjadi semakin rapat, mengisi setiap jengkal ruang di antara motif-motif utama yang ada.

Batik Hokokai yang merupakan masterpiece Liem Ping Wie. Ciri khas Flora, Kupu-kupu dan motif tanahan yang rapat.
Kelangkaan tekstil juga menjadi cikal bakal munculnya motif batik Pagi-Sore. Jenis batik ini merupakan perpaduan dua motif yang berbeda, juga diberi warna yang berbeda; umumnya satu bagian bagian dibuat bermotif besar dan diberi warna terang; dan bagian lain dibuat bermotif kecil-kecil dengan warna cenderung gelap. Perpaduan motif dan warna yang bertolak belakang ini adalah trik agar kain batik bisa dikenakan pada saat siang dan malam hari. Gagasan praktis untuk mendapatkan total different look. Menyerupai salah satu asas dasar fashion modern sebenarnya: mix and match!

Menerima Pesanan Batik Khusus

Saat ini, selain memroduksi batik khasnya, Liem Ping Wie juga menerima pesanan batik dengan motif khusus. Ibu Hien menunjukkan sebuah ruang semi terbuka tempat mengerjakan batik pesanan itu. Seorang gadis tampak tekun menggambar pola di atas sehelai kain batik yang sudah setengah jadi. Kain tersebut diletakkan di atas meja kaca, yang di bawahnya diletakan lampu.

“Kain ini adalah pesanan, dengan motif Hokokai (flora dan fauna) dan Belanda, dan telah diproses selama 8 bulan. Tetapi baru setengah jadi,” jelas Ibu Hien. Motif bunga Eropa tampak berpadu genit dengan motif kupu-kupu, dan terlihat fantastis berpadu dengan tanahan ala Hokokai yang sangat rapat dan rapi.