Pemberian grasi kepada terpidana narkoba asal Australia, Schapelle Corby oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terus menuai kontroversi. Banyak pihak mempertanyakan grasi terhadap pembawa ganja seberat 4,2 kg itu apakah sudah memenuhi rasa keadilan masyarakat atau belum.
Berikut pendapat para ahli hukum atas grasi Corby:
1. Prof Mahfud MD
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta yang juga Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mempertanyakan persoalan komitmen dan moral.
"Itu sah kewenangan presiden. Cuma persoalannya bukan konstitusi. Ada persoalan komitmen, moral keadilan dan sebagainya. Di luar sah tidak sah. Seumpamanya saya yang mengeluarkan (grasi), saya tidak akan mengeluarkan. Karena narkoba itu sungguh bahaya," kata Mahfud MD usai acara peluncuran buku "Negeri Mafia, Republik Koruptor' di Manggala Wanabakti, Jakarta, Jumat (25/5) lalu.
2. Prof Hikmahanto Juwana
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana dengan tegas menyatakan Presiden SBY yang memberikan grasi terhadap terpidana narkoba, Schapelle Corby, berpotensi melanggar sumpah presiden.
"Pemberian grasi kepada Corby berpotensi melanggar sumpah presiden untuk menjalankan undang-undang dan peraturan pelaksanaanya selurus-lurusnya," ujar Hikmahanto, Minggu (27/5) lalu.
3. Prof Soetandyo Wignyosoebroto
Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) Soetandyo Wignyosoebroto mempertanyakan apakah grasi terhadap Corby sebagai diberikan Presiden SBY sebagai kepala negara atau sebagai kepala pemerintahan.
Menurut penyabet penghargaan HAM Yap Thiam Hiem 2011 ini, presiden tidak boleh menggunakan alasan soft diplomacy dengan negara Australia. Sebab soft diplomacy merupakan kewenangan kepala pemerintahan.
"Kalau alasannya seperti itu, kan berbahaya. Soft diplomacy itu kan politik. Tidak boleh grasi diberikan dengan alasan itu. Kalau benar seperti itu, Presiden SBY bermuka dua," tandas Soetandyo.
4. Prof Jimly Asshiddiqie
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Indonesia (UI) yang juga mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie menyatakan grasi tidak lagi hak prerogratif presiden. Sebab hak tersebut warisan raja. Oleh karenanya dia meminta Presiden SBY menjelaskan ke publik.
"Tidak tepat lagi disebut hak prerogatif, itu zaman raja-raja. Hak prerogatif itu kan mutlak. Tidak cocok dipakai lagi istilah itu, sekarang check and balances. Mungkin kurang penjelasan pemerintah. Saya rasa pemerintah harus menjelaskan lagi," kata Jimly, Rabu (30/5) kemarin.
5. Prof Gayus Lumbuun
Guru Besar Hukum Administrasi Negara (HAN) Universitas Krisna Dwipayana, Jakarta yang juga hakim agung, Gayus Lumbuun menyatakan grasi merupakan keputusan pejabat pemerintah yang bisa digugat ke pengadilan. Oleh karenanya untuk membenarkan kebenaran grasi tersebut bisa dibuktikan lewat pengadilan yang bersih.
"Diperlukan fair trial pada gugatan di PTUN walaupun pengadilan itu di bawah MA," kata Gayus dalam pesan pendek kepada detikcom, Rabu (30/5) kemarin.
6. Prof Yusril Ihza Mahendra
Guru Besar Hukum Tata Negara UI yang juga mantan Menteri Kehakiman dan HAM, Yusril menyatakan langkah Presiden SBY memberikan grasi kepada Corby, memecahkan rekor sepanjang Indonesia merdeka. Sebab selama Indonesia berdiri, baru kali ini seorang presiden memberikan remisi kepada terpidana narkotika.
"Saya heran, mengapa Presiden Indonesia begitu lemah menghadapi permintaan Pemerintah Australia sehingga dengan mudahnya mengampuni napi narkotika yang dapat memberikan dampak buruk bagi harkat dan martabat bangsa," ujar mantan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) ini.
7. Dr Akil Mochtar
Doktor hukum pidana yang juga hakim konstitusi, Akil Mochtar secara pribadi tidak sepakat dengan pemberian grasi kepada Corby. Kebijakan presiden dalam pemberian grasi tersebut juga dinilai bisa digugat.
"Menurut saya pribadi, Corby itu tidak layak mendapat grasi," ujar Akil usai mengikuti acara Kongres Pancasila di Kompleks DPR/MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (30/5) kemarin.
Sumber : detik.com