Saeful (6) siap-siap berangkat sekolah dari rumahnya di Desa Ciomas Rahayu, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Selasa (27/3) pagi. Namun, bocah itu lebih dulu membeli makanan kecil di depan rumahnya. Saat itu, Iwan (33) menghampiri Saeful, dan tiba-tiba mengayunkan pisau daging ke kepala bocah itu.
Setelah sekali mengayunkan pisau pemotong daging itu, Iwan kemudian berlalu begitu saja. Ia meninggalkan Saeful yang menangis kencang, dengan darah mengucur dari kepala. Iwan kemudian berjalan ke arah Jalan Raya Ciomas, meninggalkan Gang Raden, lokasi ia membacok Saeful.
Di tepi jalan raya itu, Iwan mengamuk dan menyerang siapa saja di dekatnya. Cantika (5), Ani (48) yang sedang berbelanja, Ujo (40) penjaja makanan, Ugi (45) penumpang angkutan kota, Ata (56), Ersa, dan Parjo (48) yang sedang mengendarai sepeda motor. Tujuh warga yang berada di tepi jalan itu terluka di bagian kepala dan tubuh.
Iwan baru berhenti setelah pisau yang diayunkannya tersangkut di angkutan umum dan sang pengemudi langsung memukul wajah Iwan. Setelah jatuh, warga beramai-ramai menangkap Iwan. Beberapa pukulan mendarat ke tubuh Iwan.
Setelah itu, Iwan diserahkan ke Polsek Ciomas. Kebetulan saat kejadian, ada petugas Polsek Ciomas di tempat kejadian. Korban luka dibawa ke puskesmas, Klinik Citra, Rumah Sakit Salak, dan Rumah Sakit Marzuki Mahdi.
Parjo terbilang mengalami luka cukup parah sehingga harus dirawat intensif, sedangkan korban lain hanya dirawat untuk menghentikan perdarahan lalu diperbolehkan rawat jalan.
”Saya kaget. Sedang siap berangkat, lihat anak saya teriak dan menangis masuk ke rumah. Begitu saya lihat, kepalanya berdarah banyak sekali,” tutur Siti Aisyah (28), ibu Saeful.
Saat itu, Siti juga belum berangkat kerja. Ia biasa berkeliling menjual minuman susu fermentasi. Sementara suaminya bekerja di salah satu perusahaan jelly di Bogor. Kejadian yang menyebabkan anak keduanya terluka, membuat Siti terkejut. Apalagi, pelakunya masih terbilang tetangga dekat. Iwan hanya tinggal berselang dua pintu dari rumah Siti.
”Memang dia stres, tetapi belum pernah mengamuk. Paling-paling hanya menggoda perempuan saja di sini,” tuturnya.
Di rumah sederhana, Iwan tinggal dengan ibunya, yang mencari nafkah sebagai penjual sayur, serta adik-adiknya. Iwan memiliki lima saudara dan hidup pas-pasan. Ia juga tidak bekerja dan menurut beberapa tetangganya, dua tahun terakhir ia kerap berbicara tidak jelas.
Iwan disebut-sebut tetangganya depresi lantaran ditolak perempuan.
Di ruang tahanan Polsek Ciomas, Iwan ditempatkan di satu sel tersendiri. Ia hanya merebahkan badan. Baru saat dipanggil penyidik, ia mendekat ke jeruji ruang tahanan. Matanya sedikit menyipit lantaran bekas lebam di pipi. Selain itu, juga tampak beberapa bekas luka di bibir dan wajahnya. Namun, laki-laki berkumis tipis itu tampak terus tersenyum.
”Kamu tahu ada di mana sekarang?” tanya seorang penyidik, yang dibalas Iwan singkat,
”Tahu Pak, di kantor polisi.”
”Mengapa kamu sampai ada di sini?” tanya petugas polisi.
”Enggak tahu,” kata Iwan.
”Kenapa kamu bacok orang?”
”Ya, karena enggak ada kerja,” kata Iwan, lagi-lagi sambil tersenyum.
Saat ditanya apa benar Iwan depresi karena ditolak perempuan, ia lagi-lagi tersenyum dan mengaku sering ditolak perempuan. ”Ya banyaklah,” ujarnya.
Soal benar tidaknya Iwan mengalami gangguan kejiwaan, Kepala Unit Reskrim Polsek Ciomas Ajun Komisaris Suradi mengatakan, masih harus menunggu hasil pemeriksaan dari ahli kejiwaan. Suradi mengaku sudah melayangkan surat permohonan ke Rumah Sakit Marzuki Mahdi di Kota Bogor.
”Keterangan dari tetangga, sudah dua tahun dia stres, tapi kami harus dapat kepastian dari ahli. Soalnya, jika benar Iwan terganggu jiwanya, kasus tidak bisa dilanjutkan,” kata Suradi.
Namun, sebagai konsekuensi, Iwan harus menjalani perawatan medis dan tidak diperbolehkan pulang hingga betul-betul dinyatakan kesehatan jiwanya pulih. Sebaliknya, jika ia dinyatakan tidak gila, penyidik akan menjerat Iwan dengan Pasal 351 KUHP terkait kasus penganiayaan.
”Selama ini tidak dirawat karena orangtuanya tidak mampu. Biaya pengobatan korban juga tidak bisa dibebankan kepada keluarga Iwan. Dari rapat dengan pemerintah, biaya berobat korban ditanggung Pemkab Bogor,” kata Suradi.
Jika saja, pemerintah lebih peduli sejak awal dan telaten mendata dan membantu pengobatan penderita gangguan kejiwaan, tentu kejadian semacam ini bisa terhindarkan. Bukankah pemerintah punya perangkat hingga tingkat kampung untuk mendata? Atau memang perhatian itu masih sangat kurang.
Sumber: kompas.com