Efek Samping Pembatasan Bensin Bersubsidi - IniKabarKu.com

Breaking


PERKEMBANGAN VIRUS CORONA

Berita Selengkapnya

Bersama Lawan Covid-19

Efek Samping Pembatasan Bensin Bersubsidi



Kendati keputusan resminya belum keluar, pemerintah memastikan mulai 1 April nanti distribusi bahan bakar bersubsidi akan dibatasi. Hingga sekarang, inilah satu-satunya pilihan yang sudah diambil pemerintah.

Karena itu, sosialisasi melalui pernyataan di media terus diumbar untuk memberikan pengertian ke publik — atau setidaknya, ingin melihat respons.

Melalui kebijakan ini kelak, rencananya kendaraan roda empat pribadi atau berpelat hitam, tidak diperbolehkan lagi menggunakan premium yang harganya masih disubsidi pemerintah. Mereka harus pindah menggunakan bahan bakar tanpa subsidi seperti Pertamax atau gas yang alat konversinya akan disiapkan pemerintah.

Menurut Anggito Abimanyu, ketua tim pembatasan bahan bakar bersubsidi, melalui kebijakan ini pemerintah bisa menghemat hingga Rp 50 triliun. Ibarat perusahaan, itulah potensi keuntungan yang bisa diperoleh yang konon dikembalikan ke publik dalam bentuk lain.

Tetapi tak sedikit pihak yang berharap agar pemerintah lebih memilih opsi kenaikan harga ketimbang pembatasan. Alasannya jelas, dengan kenaikan Rp 500-1.000, kendaraan pribadi masih bisa menggunakan premium yang mungkin harganya menjadi Rp 5.500 per liter. Sementara Pertamax, sudah di atas Rp 8.000 per liter. Selisihnya sangat besar.

Nah, apa kira-kira efek samping dari kebijakan pemerintah demi menyelamatkan anggaran belanja ini?
 

Inflasi
Bisa dipastikan inflasi akan meningkat. Meski demikian, menteri koordinator ekonomi Hatta Rajasa tetap yakin inflasi tahun ini tetap dalam target, yaitu sekitar 5,3 persen. Inflasi atau peningkatan harga, setara dengan penurunan nilai mata uang. Mudah-mudahan pendapatan warga bisa mengimbangi, dalam arti naik di atas inflasi sehingga tingkat kesejahteraan tidak menurun.

Harga mobil bekas
Harga mobil bekas yang menggunakan bahan bakar bensin bisa anjlok. Konsumen dengan pendapatan sekitar Rp 6 juta sebulan yang sudah menabung untuk beli mobil bekas, kini harus berpikir ulang. Bisa-bisa lebih mahal ongkos menggunakannya ketimbang harga waktu beli lantaran harus menggunakan Pertamax. Akhirnya permintaan mobil bekas turun, dan harganya pun tertekan. Jangan-jangan sebelum April bakal banyak yang menjual mobil.

Ramai-ramai gunakan motor
Jika selama ini pengguna mobil ke kantor harus mengeluarkan dana sekitar Rp 500 ribu per bulan untuk belanja bensin misalnya, berarti harus menyiapkan anggaran tambahan jadi hampir Rp 1 juta untuk beli Pertamax. Karena itu, pilihan paling rasional adalah menggunakan motor, karena rata-rata angkutan umum masih belum nyaman. Penuh sesak dan banyak yang ugal-ugalan. Mudahnya mendapatkan motor kredit (bayarnya, tergantung) bisa meningkatkan permintaan. Hukum pasar bilang, harganya bisa terdongkrak baik yang baru maupun bekas.

Harga kebutuhan pokok
Menjelang tengah malam, kalau mampir ke pasar tradisional seperti Palmerah di Jakarta Barat atau Kebayoran Lama di Jakarta Selatan sebagai contoh, perhatikan kendaraan pengangkut dagangan. Dari sayur-mayur hingga ikan segar masuk ke pasar menumpang mobil berpelat hitam. Kendaraan pribadi yang disewakan. Kalau kelak harus menggunakan Pertamax dari sebelumnya bensin biasa, tentu ongkos operasional ikut naik. Akibatnya? Apalagi kalau bukan kenaikan harga.


Kemiskinan

Apalagi yang bisa dikatakan, jika kenaikan pendapatan tidak bisa mengikuti kenaikan harga, sudah barang tentu kemiskinan berpotensi bertambah. Saat ini, jumlah warga hampir miskin ada 27,8 juta. Jika pemerintah tidak mampu mengendalikan inflasi, kebutuhan masyarakat yang berdomisili di garis rawan dengan pendapatan per kapita sekitar Rp 270 ribu per bulan ini, bakal tertekan. Mereka bisa tergelincir dan masuk dalam kelompok miskin.

Selain lima hal ini, bisa jadi masih ada efek lanjutannya. Hanya, ada persoalan penting yang kerap diabaikan pemerintah. Yakni, ongkos sosial.

Ada hobi pemerintah yang kurang baik dilakukan, yaitu terlalu lama berwacana di publik setiap ada rencana kebijakan baru. Termasuk pembatasan bahan bakar ini — yang sudah disampaikan sejak tahun lalu tapi tidak jadi-jadi. Model gertak seperti ini bisa menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Mungkin pemerintah berharap kontroversi sudah tidak ada lagi ketika kebijakan dikeluarkan, karena publik sudah lelah membicarakan sebelumnya. Inilah ciri khas pemerintahan yang mengedepankan pencitraan.

Seharusnya pemerintah tidak perlu risih dengan kebijakan yang sekiranya dianggap untuk kebaikan rakyat, walau jadinya tidak populer alias menuai kritik. Jangan memaksakan yang belum siap. Jika memang infrastruktur pengalihan premium ke gas belum mantap betul, kenapa tidak menaikkan harga bensin saja?

Tapi jangan mahal-mahal ....

Herry Gunawan adalah mantan wartawan dan konsultan, kini sebagai penulis dan pendiri situs inspiratif: plasadana.com